Mengenal Gus Baha, Menjelaskan Agama dengan Cara Sederhana

Gus Baha bernama asli KH Ahmad Bahauddin Nursalim terkenal karena ceramahnya yang jernih. Ceramahnya mengandalkan kepada kajian keilmuan sehingga kaya akan wawasan. Gus Baha mampu meletakan perkara fiqih secara proporsional. Dia tidak mudah menyalahkan orang bahkan menolak mengkafirkan sembarang orang seperti yang dilakukan sebagian kecil umat Islam.

Beliau dikenal sebagai salah satu ulama-NU yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Qur’an. Kemampuannya menyampaikan ilmu disertai argumen sederhana menjadikan persoalan yang rumit terasa mudah dicerna. Ceramahnya banyak dicari oleh warganet maupun para penuntut ilmu.

Ia lahir di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, tahun 1970. Beliau adalah putra seorang ulama pakar Al-Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA KH Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Rembang, Jawa Tengah.

Gus Baha merupakan salah satu santri kesayangan ulama kharismatik, KH Maimun Zubair (Mbah Moen) di Rembang.

“Posisi apapun sama sekali bukan tujuan. Tidak menjadi apapun juga tidak masalah. Tidak kenal orang juga tidak masalah. Tidak diakui keberadaannya juga tidak masalah. Tidak dihormati juga tidak masalah. Justru bisa bersembunyi dari perhatian banyak orang malah lebih leluasa dan santai,” katanya.

“Mendapatkan penghormatan bukan berarti kesuksesan. Menghormati belum tentu karena betul-betul memiliki rasa hormat. Bisa aja orang yang menghormati kita karena takut, karena diharuskan, karena mereka bekerja untuk kita, mereka butuh sama kita atau supaya terlihat pantas saja.”

“Hidup ndak usah dibuat sulit, nggak usah ruwet, asal tidak maksiat, bisa menjadi pribadi yang menyenangkan dan bermanfaat bagi banyak orang, serta tidak mengusik hidup orang lain, itu sudah cukup.”

Gus Baha lahir pada 15 Maret 1970 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Ayah Gus Baha (KH Nursalim) merupakan murid dari KH Arwani al-Hafidz Kudus dan KH Abdullah Salam al-Hafidz Kajen Pati, yang nasabnya bersambung kepada para ulama besar. Dari silsilah keluarga ibu, Gus Baha menjadi bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu.

Gus Baha kecil dididik belajar dan menghafalkan Al-Qur’an secara langsung oleh ayahnya dengan menggunakan metode tajwid dan makhorijul huruf secara disiplin. Hal ini sesuai dengan karakteristik yang diajarkan guru ayahnya yaitu KH Arwani Kudus. Kedisiplinan tersebut membuat Gus Baha di usianya yang masih muda, mampu menghafal Al-Qur’an 30 Juz beserta Qiroahnya.

Menginjak remaja, ayahnya menitipkan Gus Baha untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang. Pondok Al-Anwar tepat berada sekitar 10 KM arah timur dari rumahnya.

Di Pondok Pesantren al-Anwar inilah keilmuan Gus Baha mulai menonjol seperti ilmu hadits, fiqih, dan tafsir. Dalam ilmu hadis, Gus Baha mengkhatamkan hafalan Sahih Muslim lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya. Selain Sahih Muslim, beliau juga mengkhatamkan dan hafal isi kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab gramatika bahasa Arab seperti ‘Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha menikah dengan seorang putri Kiyai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Setelah menikah, Gus Baha hidup mandiri dengan keluarga barunya dan menetap di Yogyakarta. Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya.

Semenjak Gus Baha menetap di Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan. Hingga akhirnya mereka menyusul Gus Baha ke Yogya dan patungan menyewa rumah di dekat rumah beliau. Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar rumah Gus Baha ikut ngaji kepada beliau.

Gus Baha diberi keistimewaan menjadi sebagai Ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Gus Baha duduk bersama para profesor, doktor dan ahli-ahli Al-Qur’an dari seluruh Indonesia seperti Prof Dr Quraisy Syihab, Prof Zaini Dahlan, Prof Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.

Crosshijaber Menyimpang

Ilustrasi hijab (pixabay)

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti meminta polisi segera menyelidiki kelompok crosshijaber dan akun media sosialnya. “Selain itu polisi dapat menyelidiki siapa para pelaku dan motif dibalik aksi yang mereka lakukan,” kata Abdul Mu’ti kepada wartawan, Minggu (13/10/2019).

“Jika ada upaya mereka sengaja melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat, maka dapat dilakukan proses hukum lebih lanjut,” sambung dia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menilai fenomena ini menyimpang.

“Jelas menyimpang. Yang benar, si laki-laki itu harus ditegaskan dalam sebuah lingkungan sosial untuk tetap dia menjadi dan mengembangkan jiwa kelelakiannya. Jangan dibiarkan dia mengembangkan jiwa keperempuanannya,” ujar Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi, Masduki Baidlowi, saat dimintai tanggapan, Minggu (13/10/2019).

Istilah crosshijaber diambil dari crossdressing, di mana pria mengenakan gaun wanita dan tampil dengan makeup. Crosshijaber bahkan memiliki komunitas di Facebook dan Instagram, dan bahkan ada tagarnya sendiri.

Mengenal Bapak Aljabar

Abu ‘Abdallah Muhammad ibnu Musa al-Khwarizmi kerap dijuluki Bapak Aljabar. Ia merupakan seorang ahli matematika dari Persia yang dilahirkan pada tahun 194 H/780 M, tepatnya di Khwarizm, Uzbeikistan. Ia juga adalah astronomer, dan geografer yang hebat. Ia merupakan salah satu ilmuwan di Bait al-Hikmah atau House of Wisdom yang didirikan khalifah Abbasiyah Baghdad, Irak. Kota ini menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia pada saat itu.

Kitab Aljabr Wal Muqabalah memperkenalkan istilah aljabar yang diambil dari bukunya yang terkenal tersebut. Buku tersebut diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Italia. Bahasan yang banyak dinukil oleh ilmuwan barat dari karangan Khawarizmi adalah tentang persamaan kuadrat.

Sumbangan Al-Khwarizmi dalam ilmu ukur sudut juga luar biasa. Tabel ilmu ukur sudutnya yang berhubungan dengan fungsi sinus dan garis singgung tangen telah membantu para ahli Eropa memahami lebih jauh tentang ilmu ini. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.

Selain mengarang al-Maqala fi Hisab-al Jabr wa-al-Muqabilah, ia juga   menulis beberapa buku dan banyak diterjemahkan kedalam bahasa Latin pada awal abad ke-12, oleh dua orang penerjemah terkemuka yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmetikanya, satu diantaranya berjudul Kitab al-Jam’a wal-Tafreeq bil Hisab al-Hindi (Menambah dan Mengurangi dalam Matematika Hindu).

Buku-buku itu terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa.  Khawarizmi meninggal pada tahun 262 H/846 M di Baghdad. 

Pujian

Rashed dan Angela Armstrong dalam karyanya bertajuk The Development of Arabic Mathematics, menegasakan bahwa Aljabar karya Al-Khwarizmi memiliki perbedaan yang signifikan dibanding karya Diophantus, yang kerap disebut-sebut sebagai penemu Aljabar. Dalam pandangan kedua ilmuwan itu, karya Khawarizmi jauh lebih baik di banding karya Diophantus.

Teks karya Khwarizmi begitu berbeda, tidak hanya dari buku karya orang Babilonia, tetapi juga dari karya Arithmatika-nya Diophantus

“Teks karya Khwarizmi begitu berbeda, tidak hanya dari buku karya orang Babilonia, tetapi juga dari karya Arithmatika-nya Diophantus. Ini  adalah sebuah pertunjukan yang dimulai dengan istilah sederhana yang kombinasinya memberikan semua kemungkinan untuk persamaan dasar, yang mulai saat ini secara eksplisit merupakan objek studi yang benar,” kata Rasheed dan Armstrong.

Sejarawan sains JJ O’Connor dan EF Robertson pada karyanya berjudul History of Mathematics, menyatakan  karya  Aljabar merupakan karya yang revolusioner. “Mungkin salah satu kemajuan yang paling signifikan yang dibuat ahli matematika Arab  hingga saat ini adalah karya Khawarizmi, yakni Kitab Aljabar,” ujar O’Connor dan Robertson.

Menurut keduanya, Kitab Aljabar sungguh sangat revolusioner, karena mampu beralih dari konsep matematika Yunani yang didasarkan pada geometri. ‘Dalam pandangan O’Connor dan Robertson, Kitab Aljabar yang ditulis Khwarizmi berisikan teori pemersatu yang menyediakan angka-angka/bilangan rasional, angka-angka irasional, besar/jarak geometri, dan lain-lain.

O’Connor dan Robertson menambahkan semua bilangan tersebut diperlakukan sebagai “objek aljabar”. Hal itu dinilai sebagai sebuah perkembangan penting bagi matematika.  

Diolah dari: Republika