Sebanyak 61 persen orang Prancis berpendapat Islam tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Prancis. Angka itu meningkat delapan persen dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dirilis pada Februari tahun lalu. Hal ini terungkap dari survey Institut francais d’opinion publique (ifop).
Wakil direktur jenderal Ifop, Frederic Dabi, mereka yang disurvei mendukung pelarangan simbol-simbol agama dalam banyak aspek kehidupan publik. Dilansir di Breitbart, Rabu (30/10), 75 persen mengatakan mereka akan menyetujui pelarangan simbol agama untuk pengguna layanan publik dan 72 persen mendukung larangan bagi karyawan perusahaan swasta.
Pendapat ini dipengaruhi oleh situasi politik di Prancis sendiri. National Rally di bawah Le Pen mendapat nilai tertinggi dalam jajak pendapat ketika menyangkut pertanyaan tentang partai mana yang paling cocok untuk menghadapi tantangan Islamisasi. Dari survei itu, 37 persen mendukung partai populis, dan hanya 20 persen untuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan partainya, La République En Marche! (LREM / Republik Bergerak).
Kepercayaan pada Le Pen untuk mengatasi masalah ini muncul setelah partainya mengalahkan LREM dalam pemilihan parlemen Eropa pada Mei lalu. Le Pen meminta Macron untuk mengundurkan diri setelah pemungutan suara Mei.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengingatkan lagi tentang stigmatisasi pada muslim. “Kita harus berdiri bersama semua warga negara kita,” kata Macron dalam konferensi pers bersama kanselir Jerman, Angela Merkel beberapa waktu lalu.
Populasi muslim di Prancis mencapai lima juta jiwa. Ini merupakan jumlah minoritas populasi muslim terbesar yang ada di Eropa Barat. Menggunakan jilbab dilarang di sekolah-sekolah di Prancis, di kantor pemerintahan, dan juga lembaga publik lainnya. Ini karena Prancis secara resmi adalah negara sekuler.
Menggunakan jilbab dilarang di sekolah-sekolah di Prancis, di kantor pemerintahan, dan juga lembaga publik lainnya. Ini karena Prancis secara resmi adalah negara sekuler.
Karenanya pakaian yang menutupi tubuh menjadi kontroversi dalam beberapa tahun terakhir. Pekan lalu, seorang muslimah yang mengenakan jilbab bersama dengan putranya saat perjalanan sekolah memperoleh pelecehan verbal dari politisi di parlemen Bourgogne di Prancis Timur.
Sebuah gambar perempuan merangkul putranya – yang diberi nama Fatima- menyebar secara luas setelah insiden itu diunggah ke media sosial.Hal itu memicu demonstrasi di daerah itu dan telah membuat perdebatan tentang jilbab.
Prancis sendiri saat ini tak mempunyai Undang-undang yang melarang seorang ibu mengenakan jilbab dalam perjalanan ke sekolah. Pada Rabu, Macron menyerukan pemahaman yang lebih baik tentang Islam di Prancis dan mengutuk dengan apa yang disebutnya fatal shortcut karena menghubungkan Islam dan terorisme
Insiden di gedung parlemen regional di Prancis Timur terjadi saat perjalanan sekolah pada Jum’at 11 Oktober lalu. Di mana Fatima menemani putranya yang masih kecil. Saat itu seorang politisi dari Rally sayap kanan Marine Le Pen atau sebelumnya dikenal Front Nasional melihat Fatima dan memerintahkannya untuk melepaskan jilbabnya.
Sementara dalam sebuah wawancara dengan organisasi independen yang membela hak-hak muslim di Prancis, The Collective Against Islamophobia in France (CCIF), Fatima mengatakan dirinya duduk terdiam di sudut ruangan ketika ia mendengar seseorang berteriak atas nama sekularisme.
Pengacara Fatima, Sana Ben Hadj mengatakan kliennya merasa terhina usai gambar-gambar insiden itu dibagikan secara luas. Sementara CCIF mengatakan Fatima tengah mengajukan pengaduan di Djion atas kekerasan yang bersifat rasial itu.
Pada 2011, Prancis menjadi negara Eropa pertama yang melarang burqa di tempat umum, sementara alternatif seperti jilbab yang menutupi kepala dan rambut tetap legal.